Menanti Bangkitnya Visi Maritim Negara
festajunina.site – Pidato Presiden Prabowo Subianto di Majelis Umum PBB pekan lalu mencuri perhatian dunia. Ia berbicara lantang soal kemerdekaan Palestina dan memperkenalkan solusi tanggul raksasa 480 km sebagai jawaban terhadap perubahan iklim. Namun di balik sorotan itu, ada satu hal yang luput: visi maritim Indonesia yang seharusnya menjadi jiwa dari negara kepulauan ini.
Alih-alih menegaskan arah pembangunan berbasis laut, Indonesia tampak kehilangan fokus pada jati diri maritimnya. Padahal, momentum pidato tersebut bertepatan dengan Hari Maritim Nasional, yang pertama kali digagas oleh Presiden Soekarno pada 1964 — simbol awal semangat bangsa bahari.
Dari Poros Maritim Dunia ke Visi yang Meredup
Visi Poros Maritim Dunia yang sempat digelorakan Presiden Jokowi pada 2014 dulu menjadi penanda kebangkitan semangat bahari. Kala itu, pemerintah membentuk Kementerian Koordinator Kemaritiman, mengesahkan Perpres No. 16/2017 tentang Kebijakan Kelautan Nasional, dan menggagas tol laut sebagai tulang punggung logistik nasional.
Namun, satu dekade kemudian, arah kebijakan tampak berubah. Pidato kenegaraan Jokowi di 2024 menyoroti capaian infrastruktur darat seperti jalan, jembatan, dan tol, sementara sektor kelautan seolah tertinggal. Maritim yang dulu menjadi “poros”, kini seperti hilang arah di antara prioritas pembangunan darat.
Asta Cita dan Tantangan Ekonomi Biru
Pemerintahan baru Prabowo menetapkan Asta Cita sebagai panduan arah pembangunan nasional lima tahun ke depan. Salah satu poinnya adalah ekonomi biru, sebuah konsep penting untuk mengelola laut secara berkelanjutan.
Namun dalam praktiknya, kebijakan maritim justru kalah perhatian dibandingkan program lain seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), ketahanan pangan, dan energi nasional.
Bahkan, Kementerian Kelautan kini hanya berada di peringkat ke-17 dalam alokasi APBN, dan Kemenko Kemaritiman sudah tidak lagi ada dalam struktur kabinet.
Padahal, sejarah panjang bangsa ini tidak lepas dari kejayaan maritim — dari Samudera Pasai hingga Maluku dan Batavia, Indonesia pernah menjadi poros perdagangan dunia. Kini, jejak itu nyaris tak tersisa di kebijakan nasional.
Tertinggal dari Negara Tetangga
Secara ekonomi, pelabuhan Indonesia masih jauh tertinggal dari negara tetangga.
Data OceanWeek (2024) mencatat total volume peti kemas di seluruh pelabuhan Indonesia, termasuk Tanjung Priok, hanya mencapai 17,7 juta TEUs.
Sebagai perbandingan:
- Pelabuhan Klang, Tanjung Pelepas, dan Penang di Malaysia menembus 28 juta TEUs.
- Dua pelabuhan besar Singapura, PSA dan Tuas, mencapai lebih dari 50 juta TEUs — tiga kali lipat kapasitas Indonesia.
Potensi besar Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jalur strategis Asia-Eropa seharusnya menjadikan laut sebagai motor perdagangan dan pertumbuhan ekonomi.
Sengketa dan Ancaman Kedaulatan di Laut
Selain aspek ekonomi, Indonesia juga menghadapi tantangan kedaulatan maritim yang serius.
Dua titik rawan yang kerap menjadi sorotan adalah Laut Natuna Utara dan Blok Ambalat.
Di Natuna, perairan yang kaya sumber daya kerap bersinggungan dengan klaim sepihak China dalam Laut China Selatan.
Sementara di Ambalat, ketegangan dengan Malaysia sempat memanas pada awal masa pemerintahan Prabowo, terkait potensi minyak dan gas di Laut Sulawesi.
Meski kedua negara sepakat untuk menempuh jalur diplomasi, analis seperti Dinna Prapto Raharja menilai masih ada “persoalan yang belum tuntas” dalam negosiasi kedua belah pihak.
Pentingnya Kembali ke Akar: Nusantara dan Laut
Indonesia adalah Nusantara — nusa berarti pulau, antara berarti seberang.
Lebih dari 17.000 pulau dan dua pertiga wilayah berupa lautan adalah fakta geografis yang tak bisa diabaikan.
Namun arah kebijakan nasional tampaknya belum menempatkan laut sebagai poros utama dalam pembangunan sosial, ekonomi, maupun keamanan.
“Kita bukan hanya bangsa yang hidup di tepi laut, kita adalah bangsa laut itu sendiri.”
Kata-kata Bung Karno itu kini terasa seperti gema masa lalu yang belum terjawab.
Harapan Baru: Saatnya Hidupkan Lagi Poros Maritim Dunia
Jika Indonesia ingin benar-benar menjadi kekuatan global, maka laut harus kembali menjadi pusat strategi nasional.
Program seperti ekonomi biru, penguatan pelabuhan internasional, dan industri maritim berkelanjutan bukan sekadar wacana, melainkan investasi masa depan.
Momen peringatan Hari Maritim Nasional dan pidato di PBB seharusnya bisa menjadi simbol kebangkitan itu. Karena tanpa visi maritim, Indonesia hanyalah pulau-pulau yang terpisah — bukan kesatuan yang disatukan oleh samudera.
Cek juga artikel paling seru dari platform indosiar.site

