festajunina.site Status bebas bersyarat mantan Ketua DPR RI Setya Novanto kembali menuai kontroversi. Salah satu lembaga hukum independen mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas keputusan yang memberikan kebebasan bersyarat kepada terpidana kasus korupsi e-KTP itu.
Langkah hukum ini menjadi sorotan publik. Banyak pihak menilai bahwa pemberian bebas bersyarat kepada Setya Novanto menunjukkan lemahnya komitmen negara dalam pemberantasan korupsi.
Gugatan Diajukan ke PTUN Jakarta
Gugatan resmi terhadap keputusan bebas bersyarat itu telah didaftarkan ke PTUN Jakarta oleh Masyarakat Peduli Integritas Bangsa (MPIB). Mereka menilai keputusan yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM tidak transparan serta berpotensi menyalahi prosedur hukum.
Kuasa hukum MPIB, Rizal Santoso, menjelaskan bahwa keputusan tersebut dianggap cacat administrasi. Menurutnya, proses pemberian bebas bersyarat seharusnya melalui kajian mendalam terkait perilaku, restitusi, dan tingkat pemenuhan syarat administratif yang jelas.
“Kami melihat ada ketidaksesuaian dalam proses verifikasi. Penilaian kelayakan yang dilakukan terkesan terburu-buru dan tidak memperhatikan asas keadilan publik,” ujar Rizal dalam keterangan resminya.
Selain itu, MPIB juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap narapidana berstatus bebas bersyarat, terutama bagi pelaku tindak pidana korupsi kelas kakap seperti Setya Novanto.
Latar Belakang Kasus e-KTP
Setya Novanto pernah menjadi salah satu figur paling berpengaruh di dunia politik Indonesia. Namun, kariernya runtuh setelah terseret kasus megakorupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Dalam proses hukum, pengadilan memvonisnya dengan hukuman belasan tahun penjara serta denda miliaran rupiah. Selain itu, ia juga diwajibkan membayar uang pengganti kepada negara.
Namun, publik kembali dibuat tercengang ketika Setya Novanto lebih cepat meninggalkan lembaga pemasyarakatan melalui program bebas bersyarat. Banyak pihak menilai keputusan tersebut mencederai rasa keadilan masyarakat.
Kritik Publik terhadap Pemberian Bebas Bersyarat
Pemberian bebas bersyarat kepada koruptor memang selalu menjadi topik sensitif. Dalam kasus Setya Novanto, reaksi publik berlangsung luas dan keras. Tagar bernada sindiran bahkan sempat trending di media sosial.
“Negara seolah memberikan karpet merah bagi koruptor,” tulis seorang pengguna di platform X (Twitter).
Sementara itu, aktivis antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa kebijakan ini berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Menurut mereka, pemberian hak bebas bersyarat seharusnya tidak berlaku sama bagi semua narapidana, khususnya pelaku korupsi besar yang merugikan publik secara luas.
“Koruptor bukan pelaku kriminal biasa. Dampaknya sistemik dan merusak kepercayaan publik terhadap negara. Karena itu, pembebasan bersyarat seperti ini perlu dipertimbangkan ulang,” ujar peneliti ICW, Egi Primayoga.
Penjelasan dari Kemenkumham
Menanggapi kritik tersebut, pihak Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menyatakan bahwa pemberian bebas bersyarat kepada Setya Novanto sudah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan pemerintah tentang hak narapidana.
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menjelaskan bahwa semua narapidana, termasuk koruptor, berhak mendapatkan remisi dan bebas bersyarat jika memenuhi syarat administratif dan berperilaku baik.
Namun, banyak pihak menilai alasan tersebut tidak cukup. Mereka menuntut adanya transparansi mengenai evaluasi perilaku dan proses rekomendasi yang diberikan oleh lembaga pemasyarakatan.
“Yang menjadi pertanyaan publik adalah kriteria apa yang digunakan untuk menilai perilaku baik. Apakah hanya berdasarkan lama masa tahanan, atau ada faktor lain yang lebih substantif,” ujar Rizal dari MPIB.
Tuntutan untuk Evaluasi Kebijakan
Di tengah polemik ini, berbagai lembaga masyarakat sipil mendesak pemerintah melakukan evaluasi terhadap kebijakan remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor. Mereka menilai aturan yang berlaku saat ini terlalu longgar dan tidak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi.
Selain itu, banyak pihak juga mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait pengetatan syarat administratif bagi napi korupsi.
“Kalau aturan tidak diperketat, kasus seperti ini akan terus berulang. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada sistem hukum,” tegas Egi.
Respons dari Kalangan DPR dan Akademisi
Beberapa anggota DPR juga menilai bahwa polemik ini harus dijadikan bahan refleksi bagi pemerintah. Anggota Komisi III yang membidangi hukum menyatakan bahwa pembebasan bersyarat untuk kasus korupsi perlu dipertimbangkan dengan hati-hati karena menyangkut kepercayaan publik.
Sementara itu, akademisi hukum pidana dari Universitas Indonesia, Prof. Zainal Arifin, menilai bahwa gugatan ke PTUN merupakan langkah penting untuk menguji transparansi kebijakan pemasyarakatan.
“Ini menjadi momentum bagi pengadilan untuk mempertegas batas antara hak narapidana dan kepentingan publik. Bebas bersyarat seharusnya tidak boleh diberikan secara serampangan,” ujarnya.
Harapan Publik dan Proses di PTUN
Sidang pertama gugatan ini dijadwalkan digelar dalam waktu dekat. Penggugat berharap majelis hakim dapat meninjau ulang dasar hukum keputusan tersebut dan memastikan setiap kebijakan negara tidak melanggar prinsip keadilan.
Jika gugatan dikabulkan, keputusan itu bisa menjadi preseden penting dalam pengawasan terhadap praktik pemasyarakatan di Indonesia.
Sementara itu, Setya Novanto sendiri belum memberikan tanggapan resmi terkait gugatan tersebut. Namun, tim kuasa hukumnya menyatakan akan menghormati seluruh proses hukum yang berjalan.
Penutup: Ujian bagi Sistem Hukum
Kasus bebas bersyarat Setya Novanto bukan sekadar perdebatan hukum, melainkan juga ujian bagi kredibilitas sistem keadilan di Indonesia.
Publik berharap agar proses di PTUN tidak hanya menilai aspek administratif, tetapi juga mempertimbangkan nilai moral dan keadilan sosial. Keputusan pengadilan nantinya diharapkan menjadi titik balik bagi reformasi sistem pemasyarakatan dan langkah tegas dalam pemberantasan korupsi.

Cek Juga Artikel Dari Platform jalanjalan-indonesia.com
