festajunina.site Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, Jawa Timur kembali menjadi sorotan nasional setelah menyatakan kesiapannya menjadi lokasi pertemuan para ulama dan kiai NU untuk membahas polemik internal yang kini mencuat di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sikap ini dinilai sebagai bentuk kepedulian Lirboyo terhadap stabilitas organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut.
Pesantren Lirboyo selama ini dikenal sebagai salah satu pesantren legendaris dalam tradisi keilmuan Ahlussunnah wal Jamaah. Reputasinya dalam menjaga nilai-nilai keulamaan membuat tempat ini sering dipilih menjadi lokasi penyelesaian konflik organisasi maupun musyawarah tingkat nasional. Karena itu, tidak mengherankan jika Lirboyo kembali dilirik sebagai ruang dialog untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi.
Pernyataan Resmi dari Juru Bicara Pesantren Lirboyo
Juru Bicara Pesantren Lirboyo, KH Oing Abdul Muid Shohib atau yang populer dipanggil Gus Muid, mengonfirmasi bahwa pihak pesantren telah menerima pesan dari salah satu pengasuh, KH Athoillah Anwar. Dalam pesan tersebut, Lirboyo menyatakan kesediaan menjadi tuan rumah pertemuan yang mempertemukan dua kelompok yang sedang berselisih dalam internal PBNU.
Menurut Gus Muid, kesediaan ini tidak diberikan tanpa syarat. Ada dua ketentuan yang menurut Lirboyo harus dipenuhi agar pertemuan tersebut dapat berjalan dengan efektif dan menghasilkan keputusan yang adil bagi semua pihak yang terlibat.
Syarat Pertama: Semua Pihak yang Bertikai Harus Hadir
Syarat pertama yang diajukan Lirboyo adalah kehadiran seluruh jajaran PBNU yang sedang berkonflik. Pesantren tidak ingin menjadi tuan rumah pertemuan yang tidak lengkap atau hanya dihadiri oleh satu kelompok saja. Menurut Lirboyo, musyawarah untuk menyelesaikan sengketa hanya akan efektif jika kedua belah pihak duduk bersama secara langsung.
Gus Muid menegaskan bahwa pertemuan tanpa kehadiran pihak yang sedang berseberangan hanya akan memperpanjang masalah. Lirboyo tidak ingin terlibat dalam pertemuan yang kemudian dianggap berat sebelah atau tidak representatif. Kehadiran semua pihak adalah kunci utama agar dialog berjalan terbuka dan hasilnya dapat diterima seluruh elemen organisasi.
Syarat Kedua: Forum Harus Digelar dengan Semangat Persatuan
Selain kehadiran kedua pihak, Pesantren Lirboyo juga mengajukan syarat bahwa pertemuan harus digelar dengan semangat persatuan. Pesantren berharap forum tersebut tidak digunakan untuk memperuncing perbedaan, melainkan sebagai wadah mencari titik temu demi kemaslahatan umat.
Lirboyo meminta agar setiap yang hadir menjunjung adab musyawarah, menjauhkan diri dari ucapan yang memecah belah, serta menempatkan kepentingan organisasi di atas kepentingan individu maupun kelompok. Pesantren percaya bahwa ulama adalah teladan umat, sehingga musyawarah tingkat tinggi seperti ini harus menunjukkan sikap dewasa dan bijaksana.
Latar Belakang Polemik yang Mencuat di PBNU
Polemik internal PBNU yang sedang berkembang menjadi perhatian banyak pihak di kalangan Nahdliyin. Beberapa perbedaan pandangan dikabarkan memicu ketegangan di antara tokoh organisasi. Meski tidak semua detail persoalan diungkap ke publik, dinamika itu cukup mempengaruhi aktivitas struktural NU di berbagai daerah.
Sebagai lembaga yang dihormati dalam lingkup pesantren dan NU, Lirboyo menilai bahwa konflik tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kekisruhan berkepanjangan dapat berdampak pada kegiatan sosial, pendidikan, dan dakwah yang selama ini diemban NU. Oleh sebab itu, pesantren menginisiasi sikap proaktif untuk memastikan proses penyelesaian berjalan melalui jalur musyawarah.
Tradisi Lirboyo dan Etika Musyawarah ala Pesantren
Pesantren Lirboyo memiliki sejarah panjang dalam memfasilitasi diskusi tingkat tinggi. Tradisi pesantren mengajarkan bahwa polemik harus diselesaikan melalui adab, kesabaran, dan keilmuan. Lirboyo berpegang pada prinsip bahwa perbedaan pendapat adalah hal manusiawi, tetapi penyelesaiannya harus dilakukan dengan kepala dingin.
Dalam beberapa kesempatan, Lirboyo pernah menjadi tempat berlangsungnya pertemuan penting dalam sejarah organisasi Islam di Indonesia. Oleh sebab itu, keputusan pesantren mengajukan diri menjadi tuan rumah dianggap sebagai langkah berani sekaligus bentuk kepedulian terhadap keutuhan NU.
Masyarakat Nahdliyin Menyambut Positif
Reaksi positif banyak datang dari masyarakat NU di berbagai daerah. Banyak pihak percaya bahwa Lirboyo memiliki kemampuan moral dan tradisi keilmuan yang cukup untuk menjadi mediator yang netral. Pesantren dinilai sebagai tempat yang tepat untuk kembali merajut hubungan di antara para ulama yang tengah berbeda pendapat.
Sebagian masyarakat berharap pertemuan tersebut benar-benar menjadi ruang klarifikasi dan rekonsiliasi, bukan ajang saling menyalahkan. Dengan pengalaman panjangnya, Lirboyo diyakini mampu menjaga suasana tetap kondusif.
Harapan Pesantren terhadap Proses Rekonsiliasi
Lirboyo mengharapkan konflik dapat diselesaikan melalui mekanisme musyawarah yang jujur dan terbuka. Pesantren ingin melihat PBNU kembali bersatu dan kuat sebagai organisasi yang menaungi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
Gus Muid menjelaskan bahwa pesantren tidak memiliki kepentingan politik dalam proses ini. Tujuannya murni untuk menjaga marwah organisasi dan memastikan bahwa para ulama dapat kembali fokus pada tugas-tugas keumatan.
Penutup: Jalan Damai Melalui Musyawarah
Dengan menetapkan dua syarat yang sederhana namun fundamental, Pesantren Lirboyo menunjukkan komitmennya terhadap persatuan dan keharmonisan di tubuh PBNU. Kehadiran seluruh pihak dan suasana musyawarah yang sehat menjadi dasar penting untuk mengakhiri polemik.
Keputusan Lirboyo menjadi tuan rumah menunjukkan bahwa pesantren masih memegang peran sentral dalam menjaga keseimbangan organisasi dan dunia keulamaan. Harapannya, pertemuan yang digelar kelak mampu mengembalikan ketenangan dan kesolidan NU demi masa depan umat.

Cek Juga Artikel Dari Platform radarjawa.web.id
