festajunina.site Polemik seputar pengusulan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai pahlawan nasional terus menimbulkan perdebatan di kalangan publik dan politikus. Salah satu suara paling keras datang dari politisi senior PDI Perjuangan, Ribka Tjiptaning, yang menyebut Soeharto sebagai “pembunuh jutaan rakyat”.
Pernyataan itu segera memicu reaksi luas di masyarakat. Sebagian pihak menilai Ribka hanya mengungkapkan pandangan historis yang selama ini menjadi perdebatan akademik. Namun, sebagian lainnya menganggap ucapannya sebagai fitnah dan penyebaran kebencian, terutama karena menyangkut tokoh besar yang memiliki pengaruh kuat dalam sejarah Indonesia.
Pernyataan tersebut akhirnya berbuntut panjang setelah Aliansi Rakyat Anti-Hoaks (ARAH) melaporkannya ke Bareskrim Polri.
Aliansi Rakyat Anti-Hoaks Membuat Laporan Polisi
Koordinator ARAH, Iqbal, menjelaskan bahwa laporan tersebut dibuat untuk menegakkan prinsip keadilan dan menghentikan penyebaran narasi yang dianggap menyesatkan publik. Ia menilai pernyataan Ribka tidak didukung oleh bukti konkret dan berpotensi memicu konflik sosial.
“Kami datang ke Bareskrim untuk membuat laporan polisi terhadap pernyataan salah satu politisi PDI-P, yaitu Ibu Ribka Tjiptaning. Beliau menyebut Soeharto sebagai pembunuh jutaan rakyat dalam konteks polemik pengusulan pahlawan nasional,” kata Iqbal.
Menurutnya, ARAH menilai ucapan tersebut masuk kategori dugaan pelanggaran hukum, karena dapat mencemarkan nama baik tokoh bangsa dan menimbulkan keresahan. “Kami ingin agar masyarakat tidak lagi disuguhi hoaks atau tuduhan sepihak yang tidak berdasarkan fakta,” tambahnya.
Laporan tersebut kini telah diterima oleh penyidik Bareskrim, dan pihak kepolisian berjanji akan melakukan kajian awal sebelum memutuskan langkah hukum selanjutnya.
Reaksi Publik dan Respons Dunia Politik
Kasus ini langsung menjadi bahan perbincangan panas di media sosial. Tagar terkait Ribka Tjiptaning dan Soeharto sempat trending di berbagai platform digital. Warganet terbelah menjadi dua kubu: mereka yang mendukung pelaporan dan mereka yang menganggap laporan itu berlebihan.
Sebagian netizen menilai laporan tersebut merupakan upaya untuk membungkam kebebasan berpendapat. Mereka berargumen bahwa kritik terhadap tokoh sejarah adalah bagian dari dinamika demokrasi.
Namun, kelompok lain berpendapat sebaliknya. Mereka menilai pernyataan Ribka sudah melampaui batas etika publik karena menuduh seseorang melakukan kejahatan berat tanpa dasar hukum. “Apapun alasannya, menyebut seseorang sebagai pembunuh jutaan orang tanpa bukti adalah tuduhan serius,” tulis salah satu pengguna media sosial.
Di kalangan politikus, tanggapan pun beragam. Beberapa anggota DPR menilai pernyataan Ribka adalah bentuk pandangan pribadi yang tidak mewakili sikap partai. Sementara itu, ada pula pihak yang menyerukan agar persoalan ini diselesaikan secara etik dan akademik, bukan hanya melalui jalur hukum.
Pandangan Hukum: Antara Kebebasan Berpendapat dan Dugaan Pencemaran Nama Baik
Ahli hukum pidana menilai laporan terhadap Ribka Tjiptaning akan menjadi ujian bagi batasan kebebasan berpendapat di ruang publik. Menurut pengamat hukum Universitas Indonesia, pernyataan seorang pejabat publik memiliki implikasi hukum yang lebih berat dibandingkan dengan warga biasa.
“Ketika seseorang dengan posisi strategis di partai politik menyampaikan tuduhan serius di ruang publik, maka tanggung jawab hukumnya juga lebih besar,” jelasnya.
Ia menambahkan, meskipun konstitusi menjamin kebebasan berekspresi, setiap pernyataan publik tetap harus tunduk pada prinsip hukum, terutama jika menyinggung kehormatan individu atau kelompok. “Hukum harus menjadi pagar yang menyeimbangkan antara kebebasan dan tanggung jawab,” ujarnya.
Sementara itu, beberapa aktivis hak asasi manusia mengingatkan agar proses hukum tidak dijadikan alat politik untuk membungkam kritik sejarah. Mereka menilai pernyataan Ribka, meski keras, seharusnya bisa diklarifikasi melalui forum ilmiah, bukan langsung lewat jalur pidana.
Warisan Kontroversial Soeharto
Nama Soeharto memang tak pernah lepas dari kontroversi. Sebagai pemimpin yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade, ia memiliki pendukung fanatik sekaligus pengkritik keras. Di satu sisi, banyak pihak menilai Soeharto sebagai arsitek pembangunan nasional yang berhasil menstabilkan ekonomi dan infrastruktur.
Namun di sisi lain, ia juga dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia, terutama pada masa transisi pasca peristiwa 1965. Perdebatan mengenai warisannya masih berlangsung hingga kini, dan selalu memunculkan perbedaan pandangan di tengah masyarakat.
Polemik tentang pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soeharto semakin mempertegas perpecahan narasi sejarah Indonesia modern. Sebagian masyarakat menilai gelar itu pantas diberikan, sementara sebagian lainnya menganggap masih ada luka sejarah yang belum tuntas.
Langkah Selanjutnya dari Bareskrim
Pihak kepolisian menyatakan bahwa laporan ARAH akan diproses sesuai prosedur. Penyidik akan memanggil pelapor untuk melengkapi berkas dan memverifikasi bukti-bukti awal, termasuk rekaman video dan transkrip pernyataan Ribka yang beredar di media.
Setelah tahap klarifikasi selesai, Bareskrim akan menentukan apakah laporan tersebut memenuhi unsur pidana atau hanya perlu diselesaikan melalui mekanisme etik.
Hingga kini, Ribka Tjiptaning belum memberikan pernyataan resmi terkait laporan tersebut. Beberapa sumber internal PDI-P menyebut bahwa partai tengah menunggu kejelasan proses hukum sebelum mengambil sikap politik.
Penutup: Polemik yang Cermin Demokrasi
Kasus pelaporan Ribka Tjiptaning menjadi potret nyata bagaimana kebebasan berekspresi dan penegakan hukum terus diuji di era demokrasi digital. Pernyataan seorang politikus dapat dengan cepat menyebar luas, menimbulkan interpretasi beragam, dan akhirnya berujung di meja penyidik.
Bagi sebagian pihak, ini adalah bentuk akuntabilitas publik, di mana setiap tokoh harus berhati-hati dalam berbicara. Namun bagi yang lain, ini justru tanda bahwa ruang kebebasan semakin menyempit.
Apapun hasil akhirnya, perdebatan ini menunjukkan bahwa sejarah dan politik masih menjadi topik sensitif di Indonesia. Polemik Soeharto dan ucapan Ribka Tjiptaning hanyalah satu dari sekian banyak contoh bagaimana masa lalu terus beririsan dengan dinamika politik masa kini.

Cek Juga Artikel Dari Platform mabar.online
